Belakangan ini, kegiatan study tour kembali menuai polemik. Salah satu Gubernur di Provinsi Indonesia memutuskan melarang study tour bagi sekolah negeri di wilayahnya. Alasannya cukup jelas: kegiatan ini dinilai membebani orang tua siswa, bahkan ada yang sampai berutang atau menjual barang demi membiayai perjalanan anaknya.
Tak hanya itu, isu keselamatan di jalan, terutama terkait kecelakaan bus pariwisata, juga turut memicu larangan ini. Di sisi lain, muncul pula kekhawatiran akan ketimpangan sosial karena tidak semua siswa mampu ikut serta. Namun, apakah pelarangan total adalah satu-satunya jalan keluar?
Study Tour: Niatnya sih Belajar, Tapi Kok…
Meski sering dianggap sebagai ajang rekreasi belaka, nyatanya study tour memiliki nilai edukatif yang tak bisa dikesampingkan.
Menurut Pedoman Penyelenggaraan Study Tour dari Dinas Pendidikan Kota Bekasi, kegiatan ini sejatinya merupakan bagian dari proses belajar mengajar yang dikelola bersama oleh sekolah dan komite. Tujuannya adalah memperluas wawasan siswa secara kontekstual di luar ruang kelas.
Kegiatan semacam ini bisa meliputi kunjungan ke museum, pusat IPTEK, pabrik, bahkan pengamatan budaya lokal. Tak jarang siswa juga diminta membuat laporan ilmiah sebagai hasil pengamatan langsung dari perjalanan tersebut.
Tapi memang tidak bisa dipungkiri jika Study Tour bagi sebagian orang dipandang sebagai sarana menghamburkan uang orang tua, anak-anak cuma pergi tanpa tujuan yang jelas, bahkan cenderung tidak menambah pengetahuan si anak.
Biaya dan Keselamatan Jadi Sorotan?
Masalah biaya kerap menjadi kendala dalam penyelenggaraan study tour. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, beban biaya biasanya muncul karena kurangnya transparansi dan tidak adanya pembanding harga.
Di sisi lain, masalah keselamatan sering kali terjadi bukan karena konsep study tour-nya yang keliru, tetapi karena pemilihan vendor yang sembarangan.
Banyak kecelakaan bus terjadi akibat penggunaan jasa transportasi tidak resmi yang mengabaikan standar operasional. Sebaliknya, banyak sekolah yang bermitra dengan vendor resmi dan terverifikasi justru berhasil mengadakan study tour dengan aman dan tertib.
Jadi, masalah ini sebenarnya bisa diurai atau diatasi jika pihak sekolahan mau melakukan transparansi nominal kepada wali murid. Begitu juga dengan menggandeng vendor bus yang rutin merawat armadanya.
Pentingnya Regulasi dan Standar dalam Pelaksanaan Study Tour
Jika memang tujuannya adalah melindungi siswa dan orang tua, maka solusinya bukan melarang, tetapi membenahi regulasi.
Sekolah perlu memiliki SOP yang jelas dalam penyelenggaraan study tour, mulai dari seleksi vendor, susunan itinerary yang edukatif, hingga batasan biaya yang wajar.
Adanya tim review yang terdiri dari perwakilan guru, komite sekolah, dan orang tua juga dapat membantu mengevaluasi kelayakan setiap kegiatan sebelum diberangkatkan.
Kolaborasi Sekolah, Wali Murid, dan Vendor Jadi Kunci
Penyelenggaraan study tour yang aman dan terjangkau butuh kerja sama dari semua pihak. Orang tua punya peran penting dalam pengawasan dan evaluasi.
Di sisi lain, penyedia jasa seperti Pijar Utomo Transindo juga menunjukkan bahwa ada vendor transportasi yang menjalankan SOP keselamatan secara ketat, menyediakan armada yang rutin diservis, serta crew profesional yang terlatih.
Lewat kolaborasi semacam ini, kegiatan study tour bisa berlangsung dengan nyaman dan tetap memberi nilai edukatif yang tinggi.
Melihat Study Tour Sebagai Kesempatan, Bukan Ancaman
Alih-alih melarang kegiatan study tour secara menyeluruh, akan jauh lebih bijak jika yang dibenahi adalah sistem penyelenggaraannya.
Anak-anak tetap membutuhkan ruang untuk belajar langsung dari lingkungan di luar sekolah. Pengalaman seperti ini penting untuk membentuk karakter, menumbuhkan rasa ingin tahu, serta memperkaya wawasan sosial dan budaya.
Jangan Salahkan Programnya, Tapi Awasi Orang-Orang yang Menjalankan Programnya
Jika takut dengan musibah dan semacamnya, kalau memang sudah takdirnya begitu maka terjadilah. Namun hal semacam ini kan setidaknya bisa diminimalisir dengan memastikan armada yang dipakai memang dalam kondisi prima.
Sekali lagi, ini membutuhkan kejujuran dari pihak vendor untuk mau membuka data dan fakta bahwa armada mereka memang rutin dirawat, dari pihak panitia study tour supaya tidak tergiur dengan sewa bus harga murah tapi armadanya sudah tidak prima, maupun kejujuran ke pihak orang tua siswa mengenai transparansi harga supaya mereka bisa mempersiapkan nominal sekian untuk keberangkatan anaknya.
Beberapa sekolah bahkan ada yang menerapkan sistem menabung sejak awal semester untuk biaya study tour. Cara ini bisa menjadi solusi yang lebih ringan bagi orang tua, dibandingkan harus membayar biaya yang besar secara mendadak saat waktu keberangkatan sudah dekat.
Selama dilakukan dengan prinsip transparan, aman, dan edukatif, study tour seharusnya dipandang sebagai peluang pembelajaran, bukan beban apalagi ancaman.